Biografi Kucing Komplek
Awalnya perasaan saya terhadap semua kucing biasa saja, tidak ingin mengusir apalagi menendangnya, tidak juga ingin memeluk dan menggendongnya, tapi pernah ada suatu masa di hidup saya, memelihara kucing, kucing yang saya pelihara kala itu bukan kucing yang berbulu tebal, bukan juga kucing yang tidak berbulu. Bulu nya ada, tapi standar saja, ya seperti kucing kampung biasa.
Ibi —adik perempuan saya — bilang Dia merasa kasihan melihat kucing-kucing liar di sekitar komplek yang kesulitan mencari makanan sisa, karena alasan itu Ibi sering memberi makan kucing liar di sekitar komplek dengan makanan kucing yang dia beli di pet shop. Kebiasaan Ibi tersebut membuat teras rumah kami jadi persinggahan kucing liar di komplek.
Saya tidak pernah menghitung berapa ekor kucing yang pernah singgah, kami juga tidak memberikan nama pada kucing-kucing tersebut, tapi ada beberapa kucing yang saya ingat karena setiap hari menjadi langganan ‘acara sosial’ Ibi.
Kita sebut saja namanya Neko, berasal dari kata Nenek, bisa dibilang dia adalah nenek moyang dari lumayan banyak kucing liar yang bekerliaran di komplek. Neko adalah seekor betina yang sering menjadi incaran kucing jantan ketika musim kawin. Entah karena tidak banyak betina yang hidup di sekitaran sini, atau karena Neko ini memang terlihat cantik di mata kucing jantan komplek.
Setelah musim kawin, Neko biasanya akan hamil, dan akan melahirkan beberapa anak. Kami menganggap Neko tidak bisa mengurus anak, karena tidak banyak anak dari Neko yang tumbuh besar dan sehat. Dari 3 ekor anak yang dilahirkan, satunya hilang entah kemana, satunya mati, satu ekor lagi pergi meninggalkan Neko ketika sudah agak besar.
“Bi, kenapa ya Neko tidak pernah melahirkan anak jantan?” tanyaku pada Ibi.
“sebenarnya ada anak jantan nya bang, tapi sepertinya mati ketika baru lahir, dimakan sama jantan penguasa daerah ini bang”
“kenapa cuma jantan? Daging anak kucing jantan emangnya lebih gurih? “
“bukan, kucing jantan tu kaya punya daerah kekuasaan gitu bang, abang pernah ga lihat kucing jantan pipis sembarangan? “
“iya pernah, dia kencing di velg motor”
“nah itu dia sedang menandai daerah kekuasaannya bang”
“emang iya? “
“iya bang, jadi kalau ada kucing jantan lain yang masuk daerahnya, akan dilawan sama dia, kalau ada jantan baru lahir, akan dianggap ancaman dan akan dibunuh sama dia, untuk menjaga daerah kekuasaannya”
“serem juga ya”
Melihat betapa seriusnya Ibi bercerita, Saya percaya saja dengan cerita tersebut.
Saya pikir, untung saja hanya kucing yang menandai daerah kekuasaan dengan kencing, untung kuda atau gajah atau binatang besar lain nya tidak seperti itu. Bisa bongkar mesin motor saya kalau dikencingi oleh gajah.
Beberapa bulan setelah percakapan saya dengan Ibi, saya lihat ada 3 ekor kucing sedang bergelut di teras rumah, saya kenal Neko, tapi 2 ekor kecil lagi saya tidak pernah lihat. Setelah bertanya ke Ibi, ternyata itu anak Neko, dua ekor jantan, saya tanya, kenapa dia bisa melahirkan jantan, dan selamat, saya lupa jawabannya, entah Ibi yang coba memisahkan anaknya, atau Neko bisa menemukan tempat persembunyian yang bagus ketika melahirkan kali ini. Apapun itu, baguslah, Neko ternyata berhasil melahirkan anak jantan.
Dua ekor anak Neko ini hobi sekali bergelut, saya perhatikan, mereka bergelut agak brutal, mungkin karena mereka jantan, ketika mereka bergelut, bulu mereka sampai rontok, mungkin daripada disebut bergelut, lebih tepatnya mereka bergulat, saya dan Ibi sampai terkaget-kaget ketika mereka bergulat, larinya kencang, tiba-tiba berhenti, lalu berguling-guling melibas semua yang ada disekitarnya, termasuk mangkuk makanannya yang terbuat dari bahan stainless, yang membuat suasana berisik. Sesekali saya dan Ibi menegur mereka agar pelan-pelan dalam bermain, seolah-olah mereka mengerti. Tanpa disadari telah tumbuh rasa sayang kami kepada kucing-kucing ini.
Hari-hari berlalu seperti biasa, dua ekor anak Neko sepertinya kalau di umur kucing, mereka sudah remaja, badan nya sedang, belum bisa dibilang kucing dewasa, hobi berlari-larian, dan bergulat, makin brutal tentunya, terakhir saya lihat kepala salah seekor dari mereka terlihat pitak, habis dicakar saudaranya.
Saya dan Ibi pun bergantian memberikan makanan di teras, setiap pulang kerja Ibi akan bertanya kepada saya, “kucing dah dikasi makan bang?“ jika belum maka Ibi akan memberi makan, lalu mengelus mereka sebentar, dan lanjutkan kegiatan nya. Begitu saja hubungan kami dengan kucing-kucing ini, tidak terlalu sayang yang sampai dibawa tidur juga, tapi ketika pintu terbuka dan mereka lalu-lalang di ruang tamu, akan kami biarkan saja.
Sampai pada suatu hari, saya ingat hari itu adalah hari pertama puasa, dan saya sedang menunggu waktu berbuka puasa. Saya mendengar ada mobil yang lumayan ngebut melewati jalan depan rumah kami, tidak seharusnya di jalanan komplek ini pengendara ngebut, jalanan di sini kecil, hanya bisa dilalui satu mobil, jika berpapasan dengan satu motor saja, salah satu nya harus mundur, atau harus benar-benar pelan-pelan agar tidak saling senggol. Tapi pengendara ini, seorang abang-abang, kita panggil saja bang…sat. Iya si Bangsat, mengingat wajah nya kala itu saya masih kesal, dia ngebut, di jalanan komplek. Sampai melindas salah seekor anak Neko. Awalnya saya tidak tahu, Ibi yang memanggil saya.
“Bang ke sini, cepat” Ibi sedang melihat ke arah got di seberang jalan depan rumah kami.
Di sana saya melihat anaknya Neko mengeong sekuat tenaga, kesakitan tentunya. Tapi dia masih hidup. Kami segera mengevakuasi kucing tersebut dari dalam got ke teras rumah kami. “seperti nya terlindas oleh mobil si Bangsat tadi bang” kata Ibi.
Kondisinya, dia kesakitan, mengeong keras, tidak bisa berdiri, ketika dia mencoba berdiri, seolah pinggang nya tidak mau diajak kompromi, membuat dia kembali ke posisi duduk, jadinya dia hanya seperti ngesot saja ketika berjalan.
Melihat itu saya yang sedang kesal menyusul ke rumah si Bangsat yang tidak jauh, ketika saya datang dia baru selesai memarkir mobil jeleknya itu, “Bang itu kucing yang kau tabrak kesakitan bang, kalau mati tinggal dikubur, ini dia tidak mati, kesakitan, tolong tanggung jawab, kau bawa ke dokter”
Kening si Bangsat berkerut, “dibawa ke dokter mana? “
“ya saya tidak tahu, pokoknya itu kucing kesakitan setelah kau tabrak, saya tidak mau tahu, saya mau dia diobati”
“iya nanti abis berbuka ya” menjawab dengan tetap mengekerutkan kening.
Abis itu saya berbalik pulang, saya tahu, kalau dua menit lagi saya tetap di sana dan ngobrol dengan dia, tinju saya sudah melayang ke telinga nya dia.
Ketika saya balik saya lihat kucing yang tadinya terlindas masih mengeong, tapi sudah tidak terlalu keras, saya lihat Ibi sedang memegang smartphone di sebelah kucing tersebut.
“gimana, Bi?” tanya saya,
“ini bang, di daerah sini ada dokter hewan, katanya buka sampai jam 10 malam, abis berbuka kita bawa aja dia ke sana” sambil melihatkan smartphone nya kepada saya
“baiklah” jawab saya. Saya tahu si Bangsat tidak akan tanggung jawab. Mudah-mudahan hidup kau aman-aman saja setelah ini ya, Bangsat!
Setelah menempuh setengah jam perjalanan dari rumah, kami sampai di tempat praktek dokter hewan, pak dokter pun memeriksa kucing kami.
“siapa namanya? “ tanya dokter tersebut.
Saya lihat ke arah Ibi, begitu juga sebaliknya.
“ini kucing liar di komplek, Pak, kita hanya hobi kasih makan, jadi mereka tidak kami beri nama”. Saya pun menjelaskan semua kronologi ke dokter. Saya lihat si kucing disuntik, lalu pak dokter menyentuh bagian pinggang si kucing, setelah disuntik saya lihat si kucing tidak lagi mengeong kesakitan. tidak lama setelah itu dokter bilang ke saya, “saya sudah berikan obat penghilang sakit, ini mungkin bisa bertahan sampai 3 hari, bagian pinggang nya ini patah karena terlindas, jadi ya mungkin kalau dia kesulitan nyari makan karena tidak bisa jalan…“. Pak dokter tidak melanjutkan, saya mengangguk. Saya tahu lanjutannya. Tapi saya merasa lega, setidaknya si kucing sudah tidak mengeong kesakitan lagi, saya pikir, nanti kalau dia kesakitan lagi paling saya bawa kesini lagi.
“Bang setelah kami pindah nanti, jangan lupa kasih makan si Pinggang ya” kata Ibi.
“iya tenang saja” jawab saya.
Singkat cerita Ibi, Ayah dan Ibu saya, mau pindah rumah, tidak jauh, 1 km dari sini, saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini sendiri. Tapi setiap harinya Kami akan tetap sering bertemu, karena jaraknya yang dekat.
Tanpa disadari kucing yang dilindas mobil si Bangsat kami beri nama Pinggang, kenapa? Ya karena pinggang nya pernah patah.
3 hari setelah disuntik pak Dokter, Pinggang masih hidup, dan masih ngesot, kami tetap beri makan, dia masih mau makan, pinggang nya sering dijilat-jilat oleh saudaranya dan oleh Ibunya, Neko. Seminggu setelah dari dokter, saya melihat si Pinggang sudah bisa jalan dengan empat kaki, tapi masih pincang, dan kadang bisa tiba-tiba terduduk. Sepertinya pinggang nya melalui masa penyembuhan, mungkin karena sering dijilat-jilat oleh saudara dan Ibunya si Neko. Kata bapak saya, air liur kucing itu bisa menyembuhkan, makanya dia sering dijilat saudaranya. Entah iya entah tidak, saya hanya berharap dia sembuh.
Seiring berjalannya waktu, Ibi dan yang lain sudah pindah, Pinggang tidak lagi pincang, satu hal yang berbeda dari si Pinggang ini adalah, ketika dia duduk, tidak seperti kucing yang lain, dia seperti orang yang sedang berjemur telungkup di pantai, kaki nya tidak berada di bawah badannya. Tapi saya bersyukur dia bisa tumbuh sehat, dan tidak mati setelah ditabrak.
Ketika saya sedang di luar, biasanya dia nongkrong di depan pintu, menunggu saya pulang, setelah saya sampai, dia akan datang mengikuti saya, dengan wajah datar, menuntut hak-nya, seolah bilang, “wei makanan mana, masa yang murah terus, kaya Ibi dong, kasih yang mahal”.
“iya sabar” gumam saya sambil membuka pintu rumah.
Saya tidak ada masalah ada kucing di rumah, mungkin lebih tepatnya tidak masalah kalau kucingnya si Pinggang, kalau yang lain mungkin akan saya usir juga, atau hanya saya biarkan di teras saja, bahkan dengan si Pinggang pun saya beberapa kali kesal, dia sering eek sembarangan.
Ngomong-ngomong soal eek, karena Pinggang kucing jantan, dia juga sering clash dengan kucing jantan lain yang kebetulan lewat di depan rumah. Kalau dia sudah mulai berantem, saya akan selalu usahakan menutup pintu secepatnya, kalau tidak, pertarungan tersebut akan berlanjut ke dalam rumah. Entah refleksnya si Pinggang atau entah ada pengaruhnya karena dia pernah ditabrak, setiap kali dia berantem itu, eek nya pasti akan keluar, dan menyebar kemana mana. Pasca pertarungan, saya kebagian membersihkan eek-nya. Baunya, ya Tuhan saya pikir kenapa akhir akhir saya tidak digigit nyamuk, atau melihat kecoa lewat, sepertinya mereka sudah mati menghidu bau eeknya si Pinggang, saya saja hampir pingsan ketika membersihkannya.
Hari-hari kami lalui seperti biasa, sebelum kerja saya akan tinggalkan makanan nya, sorenya dia akan menunggu saya untuk meminta jatah, malamnya dia akan duduk di sebelah saya yang ditonton oleh televisi, saya bermain smartphone, dia hanya celingak-celinguk di sebelah saya. Kadang saudaranya ada, kadang saudaranya keluar rumah, mungkin mencari daerah kekuasaan baru, Neko sesekali masih terlihat, kadang sendiri, kadang diikuti oleh kucing jantan, sepertinya dia masih menjadi primadona di mata kucing jantan. Hanya Pinggang yang stay.
Pada suatu sore, sepulang kerja, saya tidak melihat ada Pinggang di teras rumah, makanan yang saya tinggalkan juga masih utuh, tidak disentuh sama sekali. Saya cari-cari ternyata dia sedang duduk diam di balik tanaman tetangga depan rumah saya. Saya coba panggil dia tidak merespon, akhirnya saya angkat dia ke teras rumah, di sana saya coba berikan makan yang biasa, dia tidak mau makan. Akhirnya setelah googling saya coba keluar mencari makanan cair berharap dia mau makan, ketika saya balik, dia sudah berada di bawah kursi tempat kami biasa duduk ditonton oleh televisi, sepertinya dia ingin pergi menyembunyikan dirinya, tapi karena dia tidak pernah keluar dari rumah dan teras ini, jadinya dia tidak tahu kemana. Saya pikir, sudahlah paling besok dia mau makan lagi, bosan mungkin makan ini terus.
Tapi saya salah, keesokan paginya ketika saya bangun tidur, Pinggang sudah tergletak kaku di teras rumah. Saya ambil kaos putih favorit saya, saya bungkus badan nya si Pinggang, saya bawa ke bawah pohon besar di luar komplek.
“apa itu bang?” tanya seorang ibu-ibu yang tinggal paling dekat dengan pohon tersebut.
“kucing yang mati di teras rumah saya, bu” jawab saya.
“abang ini sama kaya anak saya, anak saya ketika kucing nya mati, nangis juga”
“ah, bukan bu, ini saya baru bangun, barusan masih menguap” jelas saya.
Saya pun mulai menggali tanah di dekat pohon tersebut dengan cangkul, setiap saya mengayunkan cangkul, mata saya terasa panas, hidung saya bertambah meler rasanya, saya mencoba menutupi nya dari ibu-ibu tadi.
Ketika lubangnya saya rasa sudah cukup dalam, saya letakkan badan si Pinggang yang telah dibungkus kaos oblong warna putih ke sana. “lain kali kita ditonton televisi lagi ya, sampai jumpa lagi ya, bro”. Saya timbun badan si Pinggang, ketika sudah datar, saya masih pura-pura memadatkan tanahnya, timbunan nya sudah selesai, air mata saya yang belum selesai.
Beberapa hari setelah Pinggang mati, saya diberitahu tetangga sebelah, kalau saudaranya juga mati, dia ceritakan hari-hari sebelum saudaranya mati, hampir sama seperti si Pinggang, sama-sama tidak mau makan. Ketika saya ceritakan ke Ibi, Ibi bilang mungkin mereka kena virus, atau suatu penyakit yang kita tidak tahu, soalnya gejalanya sama.
Setelah itu saya tidak lagi ingin memelihara kucing, umurnya terlalu pendek, saya tidak bisa ditinggal mati terus. ‘Acara sosial’ bagi-bagi makanan kucing di teras rumah juga sudah tidak ada, karena Ibi sudah pindah.
Dan perasaan saya terhadap kucing masih tetap sama dengan paragraf pertama dari tulisan ini, biasa saja. Tidak ingin menendangnya, tapi tidak ingin juga menggendongnya.